AL-KINDI

AL-KINDI
(185-252 H/801-866 M)


  1. Riwayat Singkat dan Karya-Karya Al-Kindi

Nama asli al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya'qub Ibn Ishaq lbn Shabah Ibn Imran Ibn Ismail Ibn Muhammad Ibn al-Asy' ats Ibn Qais al-Kindi. Pria kelahiran Kufah tahun 185 H/801 M. Sebutan al-Kindi dinisbatkan pada kata "Kindah"; nama kabilah Terkemuka pra-lslam yang merupakan cabang dari bani Kahlan dan bermukim di Yaman. Al-Kindi lahir dari keturunan keluarga kaya dan terhormat. Buyutnya al-Asy' as ibn Qais, salah seorang sahabat Nabi yang syahid bersama dengan Sa'ad ibn abi . aqqas dalam peperangan kaum muslimin dengan tentara . persia di lrak. Ayah kandung al-Kindi, lshaq ibn al-Shabbah . adalah gubernur Kufah pada masa kepemimpinan Khalifah al­Mahdi (775-785 M) dan khalifah al-Rasyid (786 - 809 M).



Ayahnya meninggal saat al-Kindi masih anak-anak. Al-Kindi melewati masa kecilnya di Kufah dengan menghafal al-Qur' an, mempelajari tata bahasa Arab, kesusastraan Arab dan ilmu hitung. Keseluruhan yang dipelajarinya di masa itu merupakan kurikulum pelajaran wajib bagi semua anak-anak jamannya di wilayah Kufah. Selanjutnya al-Kindi mendalami pelajaran fiqh dan kajian keilmuan baru yang disebut kalam. Akan tetapi, kecenderungan al-Kindi lebih mengarah pada ilmu pengetahuan dan filsafat, khususnya ketika al-Kindi meninggalkan Kufah dan berdomisili di Baghdad.


Para sejarawan memberi julukan kepada al-Kindi sebagai “Filosof Arab" disebabkan dia adalah satu-satunya filosof muslim keturunan Arab asli yang bermoyang kepada Ya' qub lbn Qahthan yang bennukim di kawasan Arab Selatan. Al-Kindi termasuk filosof Islam yang sangat produktif. Dia telah menulis banyak karya yang meliputi berbagai macam bidang ilmu. Ibnu Nadhim mengatakan bahwa al-Kindi telah meliris 260 judul karya. Bahkan menurutnya, risalah-risalah al-Kindi meliputi seluruh ensiklopedi ilmu klasik; filsafat, logika, aritmatika, musik, astronomi, geometri, kosmologi, kedokteran, dan astrologi. Akan tetapi, sedikit saja jumlah karya al-Kindi yang sampai ke tangan orang-orang setelahnya. Sebagian riwayat mengklaim bahwa karya-karya al-Kindi hilang semasa kepemimpinan Khalifah al-Mutawakkit.

Proyek pemikiran dan pembelajaran pengertahuan al­Kindi didukung oleh persetujuan Khalifah al-Ma'mun dan al­Mu'tashim dari dinasti Abbasiyah. Bahkan konon karya besar al­Kindi yang berjudul Fi al-Falsafah al-Ula didedikasikan kepada Khalifah al-Mu'tashim.

Berbeda dengan para cendikiawan yang sejaman dengannya, al-Kindi tidak memiliki kemampuan bahasa Yunani dan Suryani yang istimewa sehingga kerap merujuk pada hasil terjemahan dalam mempelajari peninggalan filsafat Yunani. T ercatat ada tiga nama penerjemah yang banyak membantu al­Kindi; lbn Na'imah, Eustathius dan Ibn al-Bitriq.

Terjemahan yang digunakan al-Kindi belum melewati standar-standar filologis yang ketat seperti yang kemudian nanti ditetapkan oleh Hunain ibn lshaq. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi rasa hormat para sejarawan dalam pengakuan mereka atas jasa-jasa al-Kindi sebagai sosok yang membuka ams penerjemahan filsafat Yunani bagi dan untuk orang-orang Islam.

Karya-karya al-Kindi yang merupakan gerbang awal pertemuan filsafat Yunani dan tradisi keilmuan Islam (mayoritas karya hanyalah risalah pendek), oleh Ibnu Nadhim dikelompokkan dalam tujuh belas bagian, yakni;

1. Filsafat
2. Logika
3. Ilmu Hitung
4. Globular
5. Musik
6. Astronomi
7. Geometri
8. Sperikal
9. Medis
10. Astrologi
11. Dialektika
12. Psikologi
13. Politik
14. Meteorologi
15. Dimensi
16. Benda-Benda Pertama
17. Spesies Logam dan Kimia

Keseluruhan kajian ini dapat dijadikan bukti yang menunjukkan keluasan ilmu al-Kindi dan kecintaannya pada pengetahuan. Meskipun tidak semua karya al-Kindi sampai ke tangan orang-orang setelahnya, beberapa karya al-Kindi yang tersisa sudah pernah diterjemahkan oleh Gerrad Cremona ke dalam bahasa Latin. Bahkan terjemahan-terjemahan itu ikut mempengaruhi arus pemikiran Eropa pada a.bad pertengahan. Karya-karya al-Kindi yang telah lama hilang, ditemukan oleh orientalis berkebangsaan Jerman, Hillmuth Ritter di perpustakaan Aya-Sofia, kota Istanbul sebanyak 12 risalah.

Ada.pun karya al-Kindi yang sampai ke tangan orang­orang setelahnya dan sempat menjadi sumber inspirasi bagi para pemikir Muslim lain adalah:

1.       Kitab al-Kindi ii.a al-Mu'tashim Bill.ahi fi al-Falsafah al-Ula: karya yang merangkum pemikiran al-Kindi tentang filsafat pertama.
2.       Kitab al-Falsafah al-Dakhil.at wa al-Masa'il al-Manthiqiyyah wa al-Muqtasha wa ma fauqa al-Thabi'iyyah; karya yang berhubungan dengan pengenalan filsafat dan persoalan logika serta metafisika.
3.         Kitab fi annahu I.a Tanalu al-falsafah ill.a bi 'ilmi al­ Riyadhiyyah: karya tentang matematika sebagai prasyarat bagi filsafat.
4.       Kita b fi Q as hd A ns· 4  K thatalis fi al-Ma'qul.at: karya yang membahas aspek teleologis dari kategori-kategori yang dikenalkan Aristoteles.
5.       Kitab fi Ma'iyyah al-'ilmi wa Aqsamihi: karya yang membicarakan persoalan substansi ilmu dan klasifikasinya.
6.       Kitab fi Ibarah al-]awami' al-Fikriyah: karya yang merangkum ungkapan-ungkapan seputar ide-ide komperhensif.
7.        Risalah fi Hudud al-Asyya· wa Rusumiha: karya yang membahas tentang definisi benda-benda dan uraian­urainnya.
8.       Risalah fi annahu ]awahir I.a Ajsam: karya seputar substansi.
9.       Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah : karya yang 'berisikan paparan filosofis tentang rahasia-rahasia spiritualitas.
10.   Risalah fi al-lb anah 'an al-'ill.at al-Fa'iliyat al-Qaribah li al­Kaun wa al-Fasad: karya tentang penjel-asan seputar sebab­sebab terdekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan.
11.   Fi al-Fa'il al-Haq al-Awwal al-Tam
12.   Fi W ahdaniyatill.ah wa T anahi ]irm al-'Alm
13.   Fi al-Qaul fi al-Nafs: karya seputar persoalam j iwa
14.   Fi al-"aql): karya yang membicarakan persoalan akal.

Dalam upaya menyikapi warisan ilsafat Yunani, karya­karya al-Kindi jelas menunjukkan bahwa ia tertarik pada pemikiran Aristoteles dan Plato. Bahkan kedua nama filosof itu sering disebut-sebut dalam karya-karyanya. Terlepas dari kekurangan al-Kindi dalam penguasaan bahasa Yunani, al-Kindi melalui terjemahan yang didapatnya, mampu mempelajari karya besar Aristoteles yang berjudul "Metaphysics" serta menuliskan komentarnya atas karya ini. Tidak hanya cukup sampai pada penulisan komentar atas Metaphysics saja, al-Kindi pun menulis komentar atas karya Aristoteles seperti Categorie, De interpretatione, Analytica posteriora dan juga komentar atas De Caelio. Selain itu, al-Kindi juga menyimpan karya dialog Aristoteles berjudul Eudemus. Semangat pembelajaran dan pendalaman filsafat yang dimiliki al-Kindi, jelas menunjukkan keinginannya yang luar biasa untuk memperkenalkan filsafat Yunani kepada para pengguna bahasa Arab guna menentang para teolog ortodoks yang cenderung enggan dan menolak pengetahuan asing.

Melalui penelusuran karya-karya al-Kindi, sejarawan menetapkan bahwa al-Kindi merupakan filosof pertama yang menyelami disiplin filsafat dengan menggunaan bahasa Arab sebagai media pengantarnya. Kesulitan yang dihadapi al-Kindi dalam mengenalkan sesuatu yang masih asing pada kolega-kolega cendekiwan dan orang-orang di zamannya, semakin memotivasinya untuk selalu berupaya menemukan istilah-istilah filsafat Yunani dalam kosa kata bahasa Arab yang memadai.

Setidaknya ada beberapa kosa kata yang dimunculkan al­Kindi untuk memudahkan pengenalan filsafat pada kalangan Islam; filsafat diidentikkan dengan hikmah, fantasia diistilahkan dengan mushawwarah dan hule disamakan dengan thin atau maddah. Bahkan terkadang al-Kindi terpaksa menggunakan kembali bahasa Arab kuno yang hampir punah untuk memadankan istilah-istilah dalam filsafat Yunani; seperti kata Ais untuk padanan kata 'wujud'. Guna menjaga ketelitian dalam pemakain istilah-istilah, al-Kindi menyusun risalah khusus yang merupakan risalah tertua al-Kindi yang sampai ke tangan para penerusnya. Kemampuan bahas Arab al-Kindi yang di atas rata­rata melapangkan langkahnya dalain penemuan istilah-istilah asing itu.


  1. Pemikiran Filsafat al-Kindi

Konstruksi pemikiran filsafat al-Kindi merupakan refleksi doktrin-doktrin yang diperolehnya dari sumber-sumber Yunani klasik dan warisan Neo Platonis yang dipadukan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Basis pemikiran filsafat yang mendasari keseluruhan pemikiran al-Kindi ditemukan dalam risalah fi al hudud al-Asyya · . Dalam risalah tersebut, al-Kindi melakukan peringkasan atas definisi-definisi dari literatur Yunani dalam bentuk yang sederhana. Ringkasan yang pada awalnya hendak memaparkan filsafat Yunani, oleh banyak kalangan dinilai hanya merupakan ringkasan definisi secara harfiah saja yang merujuk kepada Aristoteles tanpa kepastian yang jelas atas validitas sumbemya.

Dalam pandangan al-Kindi, filsafat dapat diterima sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Filsafat merupakan ilmu . terhormat dan termulia yang tidak mungkin ditinggalkan begitu saja oleh manusia yang berpikir. Pendapat ini ditujukan al-Kindi kepada para cendikiawan yang menentang keberadaan filsafat dalam kebudayaan Islam. Sikap para penentang filsafat ini kerap menjadi rintangan tersendiri yang harus dihadapi al-Kindi dan para filosof muslim lain.

Al-Kindi menmJau filsafat dari berbagai aspek yang melatar-belakangi tiap pemikiran; dari dalam dan luar. Dari dalam dimaksudkan Ui1tuk mengakui para filosof Yunani terdahulu dalam merumuskan pengertian, arti dan cakupan filsafat. Sementara itu, al-Kindi menelaah filsafat dari luar dengan tujuan pembentukan filsafatnya sendiri.

Dalam risalah al-Kindi yang khusus memaparkan bagian permulaan dari disiplin filsafat, al-Kindi mengemukakan enam definisi filsafat yang seluruhnya bercorak Platonis. Menurut al­Kindi filsafat adalah ilmu tentang hakikat sesuatu dalam batas kesanggupan manusia yang meliputi ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah) dan kajian apapun yang berguna bagi kehidupan manusia. Al-Kindi juga menyatakan bahwa tujuan para filosof dalam berteori adalah mengetahui kebenaran yang kemudian ditindaklanjuti dengan amal perbuatan dalam tindakan; semakin dekat manusia pada kebenaran, akan semakin dekat pula pada kesempurnaan.

Pengetahuan tentang kebenaran dan hal-hal lain yang diderivikasikan dari problem kebenaran merupakan orientasi para filosof manapun tanpa membedakan latar pemikiran dan jenis ataupun aliran yang dianut. Para filosof muslim sebagaimana juga para filosof Yunani, percaya bahwa prihal kebenaran berada jauh di atas batas-batas pengalaman. Kebenaran bersifat abadi di alam adialami, atau berada di alam idea atau di dalam posisi yang meliputi seluruh yang ada. Dalam berteori, para filosof mencari kebenaran; dan dalam praktik, menyesuaikan kebenaran itu dengan kenyataan empiris. Jika pengetahuan tentang kebenaran merupakan orientasi yang hendak dicapai oleh para filosof, maka al-Kindi pun menetapkan tujuan utama filsafat sebagai jalan menuju pengetahuan tersebut. Menurut al-Kindi, pengetahuan akan kebenaran mengharuskan manusia untuk menggabungkan fisika dan metafisika, sains dan teknologi. Berangkat dari asums1 inilah, al-Kindi mengupayakan perpaduan antara doktrin filsafat dan agama.
Upaya, pemaduan agama dan filsafat yang dilakukan al­Kindi didasari pada keyakinannya bahwa kitab suci al-Qur'an (dasar agama) telah mewartakan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan seputar ihwal kebenaran yang tidak akan pernah bertentangan dengan doktrin yang dihasilkan filsafat. Hanya saja, proses pemaduan agama dan filsafat tidak mungkin terlaksana tanpa mengakui keberadaan alat kerja agama dan filsafat yang sama. Bagi al-Kindi, fakta bahwa filsafat bersandar . pada kemampuan akal (rasionalitas) tidak berbeda dengan fakta bahwa doktrin agama juga memerlukan akal sebagai alat untuk memahami ajarannya. lni berarti, al-Kindi menaruh hormat yang tinggi pada anugerah akal dengan cara memaksimalkan kerja akal dalam mencapai pengetahuan akan kebenaran.

Terhadap orang-orang yang menolak filsafat dan mengharamkan filsafat sebagai jalan menuju pengetahun akan kebenaran, al-Kindi menilai bahwa mereka adalah bagian dari para pengingkar kebenaran. Tidak sepantasnya bagi manusia yang telah dikarunia akal mengingkari dan melecehkan hasil kerja akal. Dalam pandangan al-Kindi, para pengingkar kebenaran akal sama saja dengan manusia yang "menjual" agama untuk kepentingan sendiri. Selain mendasari pendapat ini dengan argumentasi rasional, al-Kindi merujuk pada ayat-ayat al-Qur'an yang menyeru pada penghormatan atas akal.

Sebab penolakan sebagian kalangan atas filsafat, oleh al­Kindi dinilai bermula dari kekhawatiran yang tidak beralasan; mereka khawatir akan terjadi pertentangan antara hasil kerja filsafat dan doktrin agama yang sudah diyakininya. Bagi al-Kindi, kekhawatiran semodel ini tidak dapat dijadikan alasan yang valid untuk menolak filsafat dan menjauhkannya dari umat Islam. Al-Kindi merasa yakin bahwa pedoman ta'wil dapat :nencegah terjadinya pertentangan dan silang pendapat antara agama dan filsafat. Namun demikian, al-Kindi dalam karyanya Kammiyah kutub Arsithateles memaparkan perbedaan antara doktrin agama dan filsafat sebagai berikut:

1.       Filasafat merupakan bagian dari humaniora yang dicapai para filosof melalui proses panjang pembelajaran, sedengkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkatan tertinggi karena diperoleh tanpa proses pembelajaran danhanya diterima secara langsung oleh para Rasul melalui proses pewahyuan.
2.       Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian danmemerlukan perenungan yang mendalam. Sedangkan agama lewat kitab suci memberikan jawaban yang pasti danmeyakinkan.
3.       Filsafat menggunakan metode logika, sedangkan agama mendekati persoalan manusia dengan keimanan.

Di langkah awal pendalaman filsafat al-Kindi, ia terlebih dahulu membagi filsafat secara global dalam dua bagian utama; studi-studi teoritis dan studi-studi praktis. Yang masuk ke dalam kajian studi-studi teoritis adalah; kajian fisika, matematika dan metafisika, sedangkan disiplin etika, ekonomi dan politik digolongkan ke dalam studi-studi praktis. Disamping membuat klasifikasi global atas filsafat, al-Kindi menyatakan bahwa filsafat terdiri dari; Pertama pengajaran atau ta'lim, terjelma dalam matematika dan berfungsi sebagai pengantar. Kedua, ilmu alam. Ketiga ilmu agama. Pengutamaan disiplin matematika sebagai prasyarat filsafat dipengaruhi oleh Filsafat Aristoteles.

  1. Metafisika dalam Pemikiran al-Kindi

Proses pemaduan ajaran filsafat Yunani dan doktrin agama Islam yang diupayakan oleh al-Kindi, tidak berhenti pada persoalan-persoalan lahiriyah yang tercakup dalam rumusa􀀁 hukum fisika belaka. al-Kindi ikut andil dan dinilai berhasil menyusun pengetahuan yang berada jauh di luar batas pengalaman fisik. Filsafat al-Kindi juga membahas pengetahuan ketuhanan (rububiyyah), keesaan (wahdaniyyah), keutamaan (fadhilah), dan pengetahuan lain yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

Persoalan metafisika al-Kindi dimulai dengan penetapan unsur-unsur yang menyusun materi fisikal. Keseluruhan benda yang dapat ditangkap indera merupakan juz· iyah (partikular) dari wujud benda dan menurut al-Kindi yang penting untuk dibicarakan filsafat bukanlah aspek partikular benda-benda itu, akan tetapi hakikat yang terdapat dalam benda. T entu saja pemikiran semodel ini sedikit banyak dipengaruhi oleh pambagian benda dalam substansi dan aksidensi dalam filsafat Aristoteles. Jika dalam filsafat Aristoteles, substansi adalah bahan yang tetap dan aksidensi adalah aspek yang mungkin berubah dari benda, maka al-Kindi menyatakan bahwa tiap benda mengandung dua hakikat; hakika't juz· iyah yang disebutnya sebagai 'aniyah dan hakikat kulliyah yang disebut Mahiyah.

Jika pembicaraan seputar ketuhanan merupakan bagian dari metafisika, maka pemikiran al-Kindi tentang persoalan yang satu ini dapat dilacak dalam karyanya fi al-Falsafah aiUla. Menurut al-Kindi, T uhan tidak mempunyai hakikat dalam arti 'aniyah dan tidak pula mahiyah. Hal ini dikarenakan Tuhan bukan seperti benda-benda fisik yang dapat ditangkap indera.

Tuhan tidak tersusun dari materi dan bentuk (dari matter dan form). Tuhan juga tidak memiliki aspek mahiyah. Dan karenanya, T uhan juga bukan merupakan genus dan species. Al-Kindi men ye but T uhan sebagai T uhan yang Satu, yang tak bisa diserupai apapun dan yang Unik. T uhan dalam pemikiran al­Kindi adalah al-Haqq al-Awwal dan al-Haqq al-Wahid. Pengetahuan ketuhanan (rububiyyah) dimasukkan dalam lapangan filsafat karena memiliki peran penting dalam kehidupan spiritual manusia. Pengetahuan ten tang T uhan diprakarsai oleh akal dalam menangkap isyarat yang diberikan T uhan melalui berbagai fenomena yang bisa dilihat, dirasa dan dipikirkan manusia.

M.anusia dapat saja mengatakan bahwa membicarakan Tuhan adalah pembicaraan yang supra-rasional. Benar, bahwa T uhan itu tidak sepenuhnya rasional bila dibicarakan dengan standar rasionalitas manusia. Dalam masalah ini, hal-hal yang supra-rasional mesti dimasukkan ke dalam sistem keyakinan. Meyakini sesuatu yang supra-rasional merupakan bagian dari pekerjaan hati (pemandu rasa). Dari sini kelihatan betapa diutamakannya prinsip keseimbangan antara akal dan hati, · antara rasio dan iman dalam filsafat al-Kindi.

Pengetahuan tentang T uhan, oleh al-Kindi disebut sebagai filsafat awal atau filsafat pertama; filsafat · yang mewacanakan al-Haqq sebagai telos yang akan mengakhiri kerja filsafat. al-Kindi pernah berpendapat mirip dengan yang dikemuakan oleh Aristoteles :

"Karena Allah, Maha Terpuji, Dia a dalah penyebab gerak ini yang aba di (qadim), maka la tak  dapat  dilihat  dan tak bergerak, penyebab gerak tanpa menggerakkan Diri-Nya. Secara se derhana, la tunggal sehingga tak dapat  dipecah lagi menja di lebih tunggal,  dan tak terlihat karena tak tersusun,  dan tak a da susunan bagi-Nya, tetapi sesungguhnya la terpisah dari segala yang dapat dilihat, karena la adalah penyebab gerak segala yang dilihat".

Penyebab gerak yang abadi mirip dengan pernyataan Aristoteles yang mengistilahkan T uhan sebagai Causa Prima a tau penyebab pertama. Atau dapat saja mirip dengan dalil ketuhanan pada Thomas Aquinas, seorang filosof abad pertengahan yang mengemukakan dalil tentang · T uhan, di antaranya adalah dalil sebab yang mencukupi (efficient cause) dan dalil gerak. T uhanlah, katanya, yang menyebabkan alam ini bergerak dari potensia ke actus. Alam jadi actus karena ada yang menggerakkannya. Sedangkan dalil sebab yang mencukupi adalah sebab yang lain lahir akibat adanya akibat  dan akibat lahir karena adanya sebab  dan berhenti sampai sebab awal. Sebab awal tidak lahir dari adanya akibat, tetapi sebab awal yang melahirkan akibat pertama, akibat pertama melahirkan sebab yang kedua,  dan akibat yang kedua melahirkan sebab yang ketiga, dan seterusnya sampai tidak terhingga. Ketak-terhinggaan merupakan cukupnya suatu sebab. Adanya rangkaian sebab akibat ini menandakan adanya sebab awal, Dialah T uhan.
_ Pernyataan yang pernah dilontarkan al-Kindi tidak serta­merta merupakan nukilan dari pendapat Aristoteles belaka. Al­kindi percaya bahwa T uhan dalam agama yang diyakininya lebih dari sekedar penggerak pertama yang tidak digerakkan. Al-Kindi tidak menaruh kecurigaan apapun seputar status Tuhan sebagai pencipta yang ada dan akan selalu ada. Hanya saja, al-Kindi lebih sering menggunakan kata 'aiBarri' untuk menyebut Tuhan ketimbang 'Allah' yang lebih mendapat tempat dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Dalam membuktikan keberadaan Tuhan, al-Kindi tampaknya tidak bisa lepas sepenuhnya dari pengaruh mutakaWmin (para teolog) sejamannya. Al-Kindi mengemukakan dalil-dalil yang lazim digunakan para teolog, yakni;

1. Dalil Baharu Alam.
2. Dalil Keragaman dan Kesatuan.
3. Dalil Pengendalian Alam dalam Keteraturan.

Penggunaan dalil baharunya alam telah dikenal oleh mutakalLimin yang juga berupaya merasionalisasikan keberadaan Tuhan. Namun demikian ada sedikit perbedaan antara argumentasi milik mutakaWmin dengan argumentasi al-Kindi sebagai filosof muslim. Perbedaan terletak pada isi  dan kandungan dalil itu. Al-Kindi mengemukakan bukti atas kemustahilan apabila alam m1 ada tanpa ada yang mendahuluinya. Adanya alam ini secara langsung memastikan adanya penyebab yang menjadikannya ada.

Argumentasi al-Kindi dibangun di atas fondasi keyakinannya bahwa gerak dan waktu berada dalam keterbatasan eksistensial. Dengan kata lain, pandangan yang menyokong prihal keterbatasan gerak  dan waktu mendasari keterbentukan dalil baharunya alam. Dengan gamblang al-Kindi mulai mengajukan pertanyaan; apakah mungkin realitas dunia menjadi sebab bagi wujud dirinya? Jawaban yang diajukannya; tentu saja tidak!. Keberadaan segala sesuatu mesti didahului oleh sebab-sebab tertentu. Aridaian ini tentu mengingatkan siapapun pada pemikiran Aristoteles  dan empat sebab yang dikemukakan oleh Aristoteles.

Dalil kedua yang dirnaklumatkan al-Kindi untuk membuktikan keberadaan Tuhan adalah bukti keragaman dan kesatuan alam. Menurut al-Kindi apapun yang eksis di alam, baik alam yang terindera maupun yang tidak, tidak mungkin memiliki keaneka-ragaman tanpa tanpa keseragaman  dan keseragaman tanpa keragaman. Hukum keseragaman  dan keaneka-ragaman ini bukan merupakan sebuah kebetulan sejarah belaka, tapi pasti ada penyebabnya. Penyebab yang memunculkan keragaman  dan kesatuan ini mesti sesuatu yang tidak dapat disebabkan oleh yang lain; Tuhan.

Sedangkan dalam pembahasan tentang dalil terakhir dalam membuktikan keberadaan T uhan, al-Kindi menyatakan bahwa alam  dan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya, tidak akan mungkin berjalan se-teratur yang terlihat, tanpa ada yang menge.n dalikannya. Wujud pengen dali alam yang menjaganya tetap berada dalam keteraturan tentulah wujud yang maha  dan tidak akan mungkin sama  dengan yang diken dalikannya. Jika alam  dan hukum-hukum alam a dalah baharu, maka pengendali tidaklah baharu. Jika alam  dan hukum-hukum alam merupakan hasil penciptaan, maka pengen dali bukanlah wujud yang diciptakan. Sesuatu yang mengen dalikan mesti berbeda dengan yang dikendalikannnya. Sebab bila antara pengendali dengan yang dikendalikan sama, maka yang akan lahir adalah sebuah ketidak-teraturan. Pengendali yang menjaga keteraturan itu, hanya  dapat diketahui melalui pelacakan jejak-jejakNya saja. Argumentasi yang terakhir ini dikenal  dengan ill.at tujuan. Keteraturan alam  dalam pengen dalian ini mengarah pada sikap hormat  dan kekaguman manusia pada Tuhan yang mengatur  dan mengendalikan alam jika direnungkan secara men dalam. Penataan alam begitu rasional  dan harmonis.

Tentang sifat Tuhan, al-Kin di menyebutkan bahwa sifat Tuhan itu azali, yang tidak berawal  dan tidak berakhir. Ia tidak bergerak, sebab bila  dikatakan bergerak berarti ia memerlukan perubahan atau pertukaran arah. Sedangkan yang memerlukan perubahan  dan pertukaran arah memerlukan ruang  dan waktu. Pa dahal Allah tidak perlu ruang  dan waktu.

  1. Pembicaraan Seputar Jiwa dan Akal

Dalam perjalan pemikiran filsafat al-Kindi, persoalan yang berhubungan dengan jiwa mendapat tempat dalam risalahnya yang berjudul fi al.-Qaul fi an-Nafs (Pendapat tentang jiwa), KaLam fi an-Nafs ( Pembahasan tentang jiwa), Mahiyah an­Naum wa ar-Ru'ya (Substansi tidur dan mimpi), Fi araql (Ten tang Akal) dan al-HiLah Li Dafi al.-Ahzan (Kiat Melawan Kesedihan). Empat karya pertama diterbitkan dalam ar-RasaiL al­Kindi al-FaLsafiyah, sedangkan dua tulisan terakhir ditemukan dalam RasaiL FaLsafiyah U al.-Kindi wa al-Farabi wa Ibnu Bajah wa lbnu 'Arabi yang disahkan oleh DR. Muhammad Abdurrahman Badawi.

Pemikiran tentang jiwa dalam filsafat al-Kindi banyak dipengaruhi oleh ide-ide Aristoteles, Plato dan Plotinus. Al­Kindi mendefinisikan jiwa sebagai; "Kesempurnaan awal bagi fisik yang bersiafat aLamiah, mekanistik, d.an memiUki kehidupan yang energik, atau kesempatan fisik aLami yang mempunyai aLat d.an mengaLami kehidupan". Definisi ini merupakan definisi yang digagas Aristoteles. Selain menerima definisi yang digagas Aristoteles, al-Kindi juga menyebutkan definisi yang ditengarai bersumber dari Plato dan Plotinus, yakni sebagai "demen yang mempunyai kelwrmatan, kesempurnaan, berkedudukan luhur, d.an substansinya berasal d.ari substansi Sang Pencipta" .

Definisi yang dipaparkan kembali oleh al-Kindi dialamatkan pada jiwa rasional yang disebutnya dengan an-Nafs an-Nathiqah. Menurutnya, jiwa ini merupakan substansi yang bersifat iLahi, rabbani dan berasal dari cahaya Pencipta, substansi sederhana yang tidak fana, substansi yang turun dari dunia akal ke dunia indera dan dianugerahi kekuatan memori akan masa lalunya.

Al-Kindi meyakini doktrin kekekalan jiwa. Menurutnya, jiwa akan kekal meskipun setelah kematian dan perpisahannya dengan raga. Jiwa berpindah dari alam yang penuh tuntutan menuju tempat keabadian, berkumpul bersama cahaya milik Sang Pencipta. Di tempat itu, jiwa dinilai mampu memandang segala hal lebih jelas dari pandangan-pandangan sebelumnya. Jiwa mampu menangkap yang nyata dan yang masih rahasia.

Sepanjang jiwa masih berada dalam raga, jiwa tidak akan memperoleh kesenangan hakiki dan kesempurnaan pengetahuan. Hanya ketika jiwa bercerai dan meninggalkan raga, kesenangan jiwa dan kesempurnaan pengetahuan dapat tercapai. Jiwa beranjak meninggalkan objek-objek ter-indera dan menuju alam kebenaran yang dinaungi nur pencipta, berada dekat dengan Tuhan dan dikaruniai kemampuan melihat Tuhan. Hanya saja, al-Kindi berkeyakinan bahwa hanya jiwa yang suci yang dapat pergi ke alam kebenaran. Adapun yang masih kotor, akan terlebih dahulu melewati etape pembersihan. Meskipun al-Kindi percaya bahwa jiwa itu kekal, al-Kindi tidak serta-m􀀹rta menyamakan kekekalan jiwa dengan kekekalan Sang Pencipta. Jiwa memang qadim, namun aspek ke-Qadiman-nya karena di-qadim-kan oleh T uhan Yang Maha Qadim.

Pendapat al-Kindi seputar persoalan jiwa merupakan gabungan pendapat Plato dan Aristoteles. Al-Kindi sering menyebut pembagian tiga daya jiwa Plato, tapi di saat yang berbeda, dia juga berupaya menggabungkan kedua pendapat dari dua tokoh yang dikaguminya itu. Pemaduan kedua pendapat itu membuat al-Kindi membagi daya jiwa dalam tiga bagian besar; daya inderawi, daya rasional dan daya perantara yang memisahkan dua daya sebelumnya.

Daya indera, menurut al-Kindi berfungsi untuk memahami bentuk-bentuk inderawi eksternal yang berkaitan  dengan materi-materi jiwa. Alat pada  daya ini adalah panca indera .. Objek-objek in derawi yang ditangkap oleh indera akan  disampaikan kepada daya rasional melalui daya- daya perantara. Daya jiwa perantara terdiri  dari; fantasi  dan imajinasr yang berfungsi untuk memahami bentuk-bentuk in derawi meskipun objek-objek eksternalnya su dah terhapus,  daya pemelihara yang bertugas menghafal bentuk-bentuk in derawi  dan mengantarnya pada fantasi  dan imajinasi,  daya emosi yang berfungi sebagai pendorong manusia untuk melawan hal-hal yang  dinilai mumpuni untuk menyakiti jiwa,  daya syahwat yang men dorong manusia untuk memenuhi keinginan, daya nutrisi yang berusaha membantu pertumbuhan  dan daya penumbuh  dalam proses pertumbuhan.

Klasifikasi  daya yang dimiliki jiwa menurut al-Kindi ini, secara sederhana oleh Muhammad 'Utsman Najati  dirunut rapi sebagai berikut:

1. Daya Inderawi.
2. Daya Perantara yang ter diri  dari;
a). Daya Fantasi  dan Imajinasi
b). Daya Pemelihara
c). Daya Emosi
d). Daya Syahwat
e). Daya Nutrisi
f) Daya Penumbuh
3. Daya Rasional

Berbe da dengan Aristoteles yang menganggap pusat semua daya in derawi a dalah hati, al-Kindi berkeyakinan bahwa pusat semua daya diken dalikan akal. Persoalan akal dibicarakan oleh al-Kindi secara rinci dalam cakupan daya jiwa rasional yang bertugas untuk memahami hal-hal yang rasional.

Dalam karyanya Fi al"aqi, al-Kindi menuangkan wacana seputar akal  dan tahapan-tahapan rasionalitas yang dilalui akal dalam pembentukan pengetahuan. Al-Kin.di membagi akal berdasarkan tiap tahapan sebagai berikut;

1.       Akal yang selalu aktif; akal ini merupakan inti semua akal  dan semua objek pengetahuan.
2.    Akal potensial; akal yang menjamin kesiapan manusia untuk memahami hal-hal yang mungkin rasional  dan membutuhkan rangsangan  dari luar.
3.    Akal aktual, akal potensial yang telah keluar dari batas potensial ketika jiwa mulai memahami hal-hal yang rasional  dan abstrak. Akal ini sering juga  diidentikkan  dengan akal Mustafad atau akal perolehan.
4.    Akal Lahir; akal yang telah serius dalam memahamai hal­hal yang rasional  dan mengubah sesuatu yang potensial (terpen dam) menjadi aktual.

Dengan klsifikasi yang a da, terlihat jelas bahwa persoalan akal dalam filsafat al-Kin di dibicarakan bersamaan dengan pembicaraan jiwa. Akal sebagai agen pengetahuan yang mengontrol proses pembentukan pengetahuan melalui bantuan pengalaman inderawi, bagi al-Kindi merupakan potensi yang ada dalam jiwa  dan berkemungkinan untuk bergerak dari potensialitas menunju aktualitas. Sampai titik ini, al-Kindi memandang bahwa sesuatu yang rasional adalah sesuatu yang mengeluarkan  daya akal  dari tempatnya yang potensial lewat rangkaian aktualitas yang  dibantu oleh  daya-daya jiwa perantara.

Klasifikasi diatas juga menunjukkan teori pengetahuan  dalam filsafat al-Kindi. Al-Kindi membagi pengetahuan kedalam dua jenis; pengetahuan in derawi  dan pengetahuan rasional. Pengetahuan inderawi hanyalah pengetahuan atas bentuk lahir dari sesuatu, sedangkan pengetahuan rasional merupakan pengetahuan atas hakikat sesuatu yang lebih mendalam dan melewati batas lahir sesuatu.

Akhirnya, semua pemikiran yang digagas al-Kindi merupakan gagasan yang ditujukan untuk memperdalam pengetahuan manusia tentang dirinya. Idealnya, manusia paripurna tidak berada dalam wilayah teoritis, tapi dalam tatar praktis. Menurut al-Kindi, seorang filosof diwajibkan untuk menempuh kesusilaan hidup. Sebab, hikmah sejati melahirkan pengetahuan dan perbuatan. Kebijakan dicari tidak untuk diri sendiri (dari Aristoteles), tapi untuk kebahagian ( dari kaum stoa). Kebahagian berhubungan dengan pengetahuan. Sebab, pengetahuan akan mengingatkan manusia bahwa tabi'at awlimanusia adalah baik, meskipun kerap tergoda oleh dorongan hawa nafsu (dari Sokrates). Al-Kindi menambahkan, pengetahuan juga akan membuang sikap serakah dari diri manusia karena kepemilikan yang terlalu berlebihan akan memberatkan jiwa.


No comments:

Popular Posts