Sejarah Singkat Kemunculan Filsafat

Hampir setiap karya-karya pengantar filsafat Islam memaparkan sejarah kemunculan Filsafat di dunia Islam dalam versi yang tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Sisi penting pemaparan sejarah tersebut adalah untuk mencari bukti-bukti yang valid seputar persoalan sejarah pemikiran umat Islam pada umumnya, sekaligus mencari sumber-sumber yan melatar belakangi kemunculan filsafat Islam. Tidak ada alas an untuk menolak sedikitpun pembicaraan tentang sejarah filsafata secara keseluruhan. Apalagi jika mengingat bahwa filsafat sudah lebih dahulu lahir sebelum Ilsam-sebagai risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw-muncul dan menguasai peradaban dunia. Maka atas dasar ini, sejarah filsafat yang dikenal di dunia Islam mesti dibicarakan sebelum membahas filsafat Islam.

Apakah muasal segala sesuatu ? Ini lah pertanyaan pertama yang muncul dalam sejarah filsafat. Jawaban pertama untuk pertanyaan filsafat ini, Lahir di kepulauan Miletos, lima abad sebelum Masehi, di saat manusia masih terjebak dalam mitos. Thales, Anaximander dan Anaximenes adalah tiga nama filosof Miletos yang berkecimpung dan menyibukkan diri dalam pertanyaan pertama filsafat. Di dalam kehidupan yang belandaskan mitos, pertanyaan yang diajukan oleh Thales (selanjutnya dia diberi gelar Bapak Moyang Filsafat) ini, bisa dianggap sebagai sebuah pemberontakan terhadap ciri berfikir mistis yang menjadi ciri utama kehidupan pra-rasional manusia.

Thales memberikan jawaban, bahwa segala sesuatu berasal dari air, ia juga menyatakan bahwa bumi ini terapung di atas air. Pernyataan ini tentu saja menolak kepercayaan mistis yang meyakini bahwa asal sehala sesuatu yang ada adalah dewa-dewa. Jawaban Thales didahului oleh pengamatan atas realitas dan jawaban iseng yang terlontar begitu saja. Tetapi menurut Anaximander, asal segala sesuatu bukan air. Setelah melalui banyak tahapan penelitian, Anaximander meyakini bahwa hanya ada satu asal mula, yaitu to apeiron atau yang tak terbatas (peras=batas). Menurutnya yang tak terbatas itu ada dari keabadian, lingkungan tidak terbatas dan ia actual. Bagi Anaximander, yang tidak terbatas itu, tidak dapat dilihat atau dirasakan dengan alat indera dan hanya dapat diketahui dengan pikiran.

Begitulah jawaban Anaximander atas pertanyaan pertama filsafat, namun jawaban ini disanggah oleh Anaximenes. Menurutnya, tidak mungkin yang tak terbatas menjadi asal dunia. Yang menjadi muasal segala sesuatu adalah udara. Demikian pemikiran filsafat di masa awal kelahirannya.  Pemikiran dari Miletus ini memberikan dasar bagi para filosof setelah mereka. Dari tiga orang pertama yang berkecimpug dalam pertanyaan pertama dan dari jawaban-jawaban atas pertanyaan pertama ini, dapat disimpulkan adanya dua bentuk pemikiran baru yang lepas dari keharusan berpikir mistis (berpikir berdasarkan mitologi yang berlaku) zaman itu; pertama, pemahaman yang berdasarkan hasil pengamatan inderwai atas hal-hal yang ingin diketahui. Kedua, observasi lanjutan atas hasil-hasil pengamatan inderawi dengan melatih kerja abstraksi dalam pikiran. 

Tentu saja, apa yang telah dilakukan tiga filosof pertama dari kepulauan Miletos itu tidak sekonyong-konyong mampu melepaskan pemikiran manusia dari kuasa mitos sepenuhnya. Apalagi jika mengingat bahwa fasilitas yang digunakan ketiga filosof pertama tersebut tidak secanggih alat-alat observasi jaman ini.

Selanjutnya, kesibukan-kesibukan filsafat pasca kemunculan pertanyaan pertama filsafat, berkembang terus dari satu tema ke tema-tema lain dengan corak pemikiran yang beragam dan akhirnya melahirkan aliran yang tentu juga beragam.

Sebagian kalangan menganggap bahawa pemikiran filsafat Yunani dikelompokkan sebagai pemikiran kosmosentris sebelum akhirnya Sokrates memulai babak baru pemikiran filsafat Yunani di Athena. Tidak sulit untuk mendapatkan sumber yang menceritakan kegemilangan filsafat jaman Sokrates. Ditangan Sokrates, filsafat tidak melulu membicarakan kosmos. Pengetahuan tentang keyakinan agama dank e-Tuhanan mulai dibicarakan. Singkat kata, zaman Sokrates adalah jaman yang memberi ruang luas yang bagi kehidupan filsafat. Selepas Sokrates, murid dan penulis ajaran Sokrates, Plato meneruskan cita-cita filsafat. Gagasan tentang alam idea-nya mengajarkan banyak hal bagi manusia. Setelah Plato, Aristoteles pun meneruskan pengembangan filsafat Athena. 

Sebelum abad ke-3 SM (sudah masa Plato dan Aristoteles) tidak muncul pemikrian yang benar-benar baru dalam filsafat Yunani sampai akhirnya tampil kaum Neo-Platonis kurun abar ke-3 M. jika membuka ulang sejarah peradaban dunia, masa setelah Aristoteles adalah masa kejayaan Alexander Agung, kairsar Romawi yang pernah menjadi murid Aristoteles. Alexander menaklukan Asia Kecil, Syiria, Mesir, Babilonia, Persia, Samarkand, dan Punjab. Tiap kali berhasil memenangkan ekspansi militer, Alexander mendirikan kota-kota yang bercitarasa Yunani. Namun ketika kekuasaannya semakin meluas, Alexander terpaksa menganjurkan pembauran antar buadaya Yunani dan budaya bangsa jajahan. Inilah Hellenisme, yaitu suatu peristiwa merasuknya kebudayaan Yunani di segala bangsa jajahan Romawi. 

Setelah masa Alexander, imperium Romawi terpecah menjadi tiga bagian: Eropa, Aprika dan Asia. Kawasan Eropa dipimpin Ptolomeus yang menjadikan Alexanderia sebagai ibu kota. Dinasti Ptolomeus adalah pelindung ilmu pengetahuan dan berhasil menyulap ibu kota menjadi pusat perkembangan ilmu, (khusus matematika) yangmenarik perhatian kaum intelektual zaman itu. 

Akan tetapi, kemenangan dan kemakmuran politik tidak disertai dengan kemakmuran intelektual. Kejayaan seringkali menyebabkan kebobrokan moral. Pada saat itu, menurut A.F Angus dalam Umabrifge Ancient History “Metafisika surut ke belakang, dan etika berwatak individual menjadi utama. Filsafat tidak lagi menjadi tangkai obor yang berjalan di muka beberapa orang pemberani yang melacak kebenaran. Filsafat lebih mirip ambulan yang berjalan di belakang perjuangan hidup serta mengangkut mereka yang tak berdaya dan terluka”.

Filsafat zaman itu berkembang kearah praktis, tepatnya ke wilayah etika dan melupakan kearifan teoritis. Motor penggerak filsafat praktis zaman itu adalah aliran Epicuros dan mazhab Stoa. Epicuros (341-271 SM) membangun filsafat dengan tujuan menjamin kebahagiaan manusia. Menurutnya, kebahagiaan adalah hilangnya ketakutan dan kesedihan. Ketakutan itu ditimbulkan oleh murka dewa, resiko kematian dan ketidakpastian nasib. Bagi Epicuros, ketakutan semacam itu sebenarnya tidak pernah ada, karena dewa sendiri tidak ada. Epicuros mendasari teorinya dengan pandangan Demokratis yang menyatakan bahwa asal segala hal adalah atom-atom dan ruang kosong. Jiwa dalah juga atom yang diwadahi oleh tubuh manusia; jika manusia mati, jiwanya kembali berpadu menjadi jiwa baru bagi tubuh yang juga baru. Maka, atas dasar ini kepercayaan kepada dewa adalah omong kosong bagi kaum Epicuros.

EPicuros menetapkan tujuan hidup sebagai pencapaian hedone (kenikmatan, kepuasan). Hedone bisa tercapai pada batin yang tenang dan tubuh yang sehat. Ketenangan batin terjadi ketika segala keinginan terpuaskan, sehingga tidak ada sesuatupun yang diinginkan lagi.

Berbeda dengan Epicuros, aliran Stoa yang didirikan oleh Zeno di Cyprus (336-264) mempercayai Tuhan. Namun demikian padangan Ke-Tuhanan Stoa adalah pandangan materialistis, dalam arti, hanya yang bersifat jasmaniah saja yang diterima sebagai “ada”. Jika Stoa mempercayai Tuhan, maka kepercayaan itu hanya dalam pengertian jasmani. Dalam prinsip etika Stoa, keselarasan menjadi dasar dari kebahagiaan manusia. Manuaila harus menjalani kedupan yang selaran denga perintah akalnya dan logosnya. Kebahagiaan hanya merupakan efek dari kehidupan selaras ini, jadi bukan tujuan. Cita-cita tertinggi yang ingin dicapai manusia adalah apatheia, keadaan tanpa pathe, tanpa rasa. Yaitu keadaan manusia menguasai semua gerak perasaannya, bahkan ketika merasa kesakitan. 

Setelah Stoa dan Epicuros, Filsafat Yunani berkembang di abad Masehi. Pembahasan mengenai sejarah perkembangan Filsafat di abad Masehi sedemikian rumit, karena telah berkembang di wilayah yang luas. 

Agama keristen telah datang dengan ajaran al-Masih yang awalnya mendorong kesadaran untuk menciptakan pemikiran filsafat baru. Barangkali, diawal kemunculan agama Keristen, kaum cendekiawan sibuk dengan usaha pembentukank ajaran agama Keristen. Tetapi selanjutnya pemikiran keagamaan baru juga berimbas pada keharusan berfilsafat. Keristen muncul melalui dua kebudayaan besar; kebudayaan Yunani dan Romawi. Para perintis pemikiran agama baru tersebut memanfaatkan kedua kebudayaan untuk mempertahankan agama baru dalam menyusun ajaran-ajarannya. Filsafat Keristen Yunani muncul pada abad ke-1 yang merupakan masa penyebaran Keristen sebagai ajaran dan sebagai misionaris pengikut al-Masih dan masa pembangunan beberapa gereja di Syam dan Asia Kecil. Pengalaman Keristen awala masih pada tahap pembentukan yang bentuk teritorisnya belum tampak. Kelompok Keristen awal menjalankan ajarannya, dan kemudian mencoba mengkodefikasikan ajaran tersebut ke dalam teks-teks di bawah pengaruh lingkungan kebudayaan Palestina, Mesir, dan Asia Kecil.

Keberadaan misonaris Keristen mendahului terbentuknya filsafat Keristen. Sejak masa misionaris Keristen inilah sejarah Keristen tercatat. Baru kemudian pada abad ke-2 Masehi, para pembela Keristen mulai mengadakan pembelaan yuridis terhadap agama baru ini. Hampir seluruh konsentrasi pemikiran di jaman ini tertuju pada upaya perumusan agamaKeristen. Pada perkembangan selanjutnya, pemisahan Gereja Barat dan Timur pada abad ke-5 mengindikasikan adanya perbedaan Keristen Barat dan Keristen Timur. Skolastik Alexanderisme pada abad ke-2 dianggap awal Keristen Timur.

Dalam pemikiran Keristen Timur sudah berkembang persoalan-persoalan pengetahuan, interpretasi, akal budi, illuminisme, atau dalam bahasa umat Islam, persoalan rasio dan teks, interpretasi dan kitab suci. Keterbukaan Keristen Timur terhdap filsafat Yunani didasarkan pada prisnsip, apa yang benar dan baik menurut filsafat juga benar dan baik menurut agama. Keristen Timur memiliki keistimewaan, yaitu kelembutan jiwa. Pada abad ke-7 dan ke-8 Masehi, ditangan tiga filosof dari Gaza, Inee de Gaza, Procop de Gaza dan Zacharic de Mereline, membawa filsafat Byzantium ke puncak kejayaan.

No comments:

Popular Posts